Mungkin bagi sebagian kalangan, keberadaan kotoran ternak seperti
sapi dianggap sebagai limbah saja. Namun, di tangan para peternak sapi
yang tergabung dalam Kelompok Ternak Sedyo Makmur, Dusun Ngemplak 1,
Umbulmartani, Ngemplak ini, limbah organik ini menjadi produk yang
menguntungkan.
Produk yang dihasilkan dari kotoran sapi berupak pupuk organik yang
bebas dari bahan kimia. Kendati sederhana, namun hasil penjualan pupuk
ini memberikan keuntungan yang dapat menjadi andalan anggota kelompok
sebanyak 38 orang itu.
“Dari 143 ekor sapi yang ada di kelompok ini, setiap bulannya
menghasilkan 20 ton pupuk organik siap pakai. Per kilogramnya dijual ke
kalangan petani sebesar Rp 600 dan selalu habis terjual. Tinggal
dikalikan saja berapa keuntungan yang didapat,” papar Harno Mulyono,
Ketua II Kelompok Ternak Sedyo Makmur saat ditemui di rumah produksi
pupuk organik, Jumat (12/12/2014).
Menurutnya, hanya dengan proses yang sederhana, pupuk tersebut
diproduksi secara mandiri oleh anggota kelompok. Modal yang dikeluarkan
sendiri tidak perlu terlalu banyak lantaran hanya memerlukan campuran
berupa zat pengurai, kapur, dan tetes tebu.
“Prosesnya hanya mencampur dan mendiamkan campuran bahan mentah pupuk
organik (kotoran sapi) selama 3 minggu dengan diselingi pembalikan
sebanyak tiga kali. Setelah kering, tinggal digiling saja untuk
melembutkan dan siap dipasarkan,” ungkapnya.
Ia mengatakan hasil produksi pupuk organik tersebut sudah dipasarkan
tidak hanya di Kabupaten Sleman, namun hampir di seluruh Yogyakarta.
Namun jumlah kotoran sapi yang diolah baru 40 persen nya saja, padahal
permintaan terus bertambah sejak awal di produksi pada 2011.
“Setiap harinya, satu ekor sapi mampu menghasilkan kotoran sebanyak
25 kg. Saking banyaknya, kami tidak bisa mengolah seluruhnya, baru 40
persen. Padahal, permintaan terus meningkat karena kualitas pupuknya
memang bagus dan murah,” jelasnya.
Kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan lahan dan peralatan
yang belum memadai untuk meningkatkan produksi lebih dari 20 ton. Selama
ini, kelompok ini hanya mengandalkan satu alat penggiling yang
merupakan bantuan dari pemerintah.
“Untuk pengadaan nya masih ter kendala dana, karena keuntungan belum
mengalami peningkatan. Selama ini kami juga masih menggunakan lahan
milik desa dengan sistem sewa,” kata dia.
Kendati demikian, pihaknya optimistis usaha ini akan terus
berkembang. Hal ini lantaran minat petani semakin cenderung menggunakan
pupuk alami dibanding pupuk kimia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar