Minggu, 21 Desember 2014

Wanginya Bisnis Kotoran Sapi


Bisnis Kotoran Sapi

Mungkin bagi sebagian kalangan, keberadaan kotoran ternak seperti sapi dianggap sebagai limbah saja. Namun, di tangan para peternak sapi yang tergabung dalam Kelompok Ternak Sedyo Makmur, Dusun Ngemplak 1, Umbulmartani, Ngemplak ini, limbah organik ini menjadi produk yang menguntungkan.
Produk yang dihasilkan dari kotoran sapi berupak pupuk organik yang bebas dari bahan kimia. Kendati sederhana, namun hasil penjualan pupuk ini memberikan keuntungan yang dapat menjadi andalan anggota kelompok sebanyak 38 orang itu.

“Dari 143 ekor sapi yang ada di kelompok ini, setiap bulannya menghasilkan 20 ton pupuk organik siap pakai. Per kilogramnya dijual ke kalangan petani sebesar Rp 600 dan selalu habis terjual. Tinggal dikalikan saja berapa keuntungan yang didapat,” papar Harno Mulyono, Ketua II Kelompok Ternak Sedyo Makmur saat ditemui di rumah produksi pupuk organik, Jumat (12/12/2014).
Menurutnya, hanya dengan proses yang sederhana, pupuk tersebut diproduksi secara mandiri oleh anggota kelompok. Modal yang dikeluarkan sendiri tidak perlu terlalu banyak lantaran hanya memerlukan campuran berupa zat pengurai, kapur, dan tetes tebu.

“Prosesnya hanya mencampur dan mendiamkan campuran bahan mentah pupuk organik (kotoran sapi) selama 3 minggu dengan diselingi pembalikan sebanyak tiga kali. Setelah kering, tinggal digiling saja untuk melembutkan dan siap dipasarkan,” ungkapnya.

Ia mengatakan hasil produksi pupuk organik tersebut sudah dipasarkan tidak hanya di Kabupaten Sleman, namun hampir di seluruh Yogyakarta. Namun jumlah kotoran sapi yang diolah baru 40 persen nya saja, padahal permintaan terus bertambah sejak awal di produksi pada 2011.
“Setiap harinya, satu ekor sapi mampu menghasilkan kotoran sebanyak 25 kg. Saking banyaknya, kami tidak bisa mengolah seluruhnya, baru 40 persen. Padahal, permintaan terus meningkat karena kualitas pupuknya memang bagus dan murah,” jelasnya.

Kendala yang dihadapi antara lain keterbatasan lahan dan peralatan yang belum memadai untuk meningkatkan produksi lebih dari 20 ton. Selama ini, kelompok ini hanya mengandalkan satu alat penggiling yang merupakan bantuan dari pemerintah.

“Untuk pengadaan nya masih ter kendala dana, karena keuntungan belum mengalami peningkatan. Selama ini kami juga masih menggunakan lahan milik desa dengan sistem sewa,” kata dia.
Kendati demikian, pihaknya optimistis usaha ini akan terus berkembang. Hal ini lantaran minat petani semakin cenderung menggunakan pupuk alami dibanding pupuk kimia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar